Hidup itu seperti membaca suatu kisah. Ketika mata membaca kalimat demi kalimat di halaman satu, pikiran akan menerka apa yang akan terjadi di halaman dua, tapi tidak pernah ada yang tahu percis apa yang akan terjadi selain penulis cerita.
Jika merefleksikan kembali apa yang telah terjadi dalam hidup saya kemarin, rasanya seperi kejutan. Angan dan ingin bersaing dengan realitas yang terkadang tidak seperti apa yang saya inginkan. Namun, boleh jadi lebih baik karena ada banyak hal yang dapat dikenang.
Saya rasa yang menarik dari mengenang sesuatu, ketika kita dapat menyadari apa yang rasanya sudah cukup, perlu dikejar, dan waktunya dilepaskan. Hal yang paling saya tunggu-tunggu dari hari-hari mengenang adalah tersenyum tanda telah berdamai dengan apa adanya saya saat ini.
Menariknya, berdamai dengan mimpi atau apa pun itu di masa lalu selalu butuh waktu yang lebih lama dari apa yang saya prediksi. Ya, akan berbeda jika kamu memiliki kesadaran diri dan mental yang kuat.
Tunggu, apa baru saja saya mengatai diri saya sendiri? Bukan begitu, hanya saja saya lebih menyukai membiarkan perasaan saya mengalir sampai rasanya cukup. Seperti membaca buku, saya lebih menyukai menikmati setiap kalimat-kalimatnya daripada buru-buru menyelesaikan kisahnya.
Sebenarnya saya menulis ini karena baru saja mengenang mimpi. Mimpi seorang gadis kecil yang saat itu duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama.
"Ala mau kuliah di jurusan Psikologi, Universitas Padjajaran!" ujarnya lantang.
Halo, dia ada di Sosiologi Unila sekarang. Rasanya baru kemarin saya merelakan mimpi yang tidak sempat dikejar sampai tuntas karena beberapa alasan yang tidak ingin saya sebutkan di sini. Namun, ternyata saya baru benar-benar merelakannya kemarin. Iya, kemarin.
Kalau kamu membaca tulisan-tulisan saya yang lain, saya sempat menulis tentang magang di Humas Unila 2023, sebagai jurnalis. Karena ini, saya kemarin mendapat kesempatan untuk mewawancarai dan menulis kisah tentang salah satu Duta Kesehatan Mental Provinsi Lampung 2023. baca di sini
Perasaan senang, terharu, sendu, bercampur ketika menulis sampai artikel itu dirilis. Saya turut senang atas pencapaiannya, saya puas entah mengapa, dan ya sudah. Seperti tidak lagi ada rasa penasaran. Bagi saya menulis kisahnya sama dengan menyuntikkan energi yang rasanya ingin sekali saya rasa sejak dulu.
Em, ya.
0 Komentar